Selasa, 03 November 2009

Korelasi Antara Motivasi Belajar Santri dan Keproduktifan Mereka dalam Menjalankan Aktivitas Sehari-hari

Pondok pesantren merupakan sebuah lembaga pendidikan Islam nonformal di Indonesia. Begitu banyak pondok pesantren yang tersebar di seluruh pelosok nusantara. Keberadaan dan sepak terjang pondok pesantren tidak dapat dipandang sebelah mata. Pesantren telah aktif sejak penyebarannya pada zaman penjajahan Belanda yang didirikan oleh para Wali Songo. Penyelenggaraannya pun sangat baik untuk membentuk manusia yang mempunyai kepribadian (saleh pribadi dan sosial).
Sebagaimana dikatakan sebelumnya bahwa pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam, maka tujuannya pun untuk mewujudkan dan mengembangkan kepribadian muslim, yakni kepribadian yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, bermanfaat kepada masyarakat, berkhidmat kepada masyarakat dan kiai dengan jalan menjadi kawula (mengikuti sunah Nabi), mampu berdiri sendiri, bebas dan teguh dalam kejayaan Islam di tengah masyarakat, mencintai ilmu dan mengembangkan kepribadian Indonesia (Mastuhu, 1994 : 55).
Ahmad Tafsir (1992 :201) mengelaborasi tujuan pendidikan pesantren Mastuhu sebagai berikut :
1. Memiliki kebijaksanaan menurut Ajaran Islam. Anak didik dibantu agar mampu memahami makna hidup, keberadaan, peranan, serta tanggung jawabnya dalam kehidupan bermasyarakat.
2. Memiliki kebebasan yang terpimpin. Setiap manusia memiliki kebebasan, tetapi kebebasan itu harus dibatasi karena kebebasan memiliki potensi anarkisme. Keterbatasan mengandung kecenderungan mematikan kreativitas, karena itu pembatasan harus dilakukan. Inilah yang dimaksud dengan kebebasan terpimpin. Kebebasan yang terpimpin merupakan watak ajaan Islam.
3. Berkemampuan mengatur diri sendiri. Di pesantren, santri mengatur sendiri kehidupannya menuruti batasan yang diajarkan agama. Masing-masing pesantren mengatur dirinya sendiri.
4. Memiliki rasa kebersamaan yang tinggi. Dalam pesantren berlaku prinsip dalam hal kewajiban individu harus menunaikan kewajiaban lebih dahulu, sedangkan dalam hak individu harus mendahulungan kepentingan umum sebelum kepentingan sendiri. Kolektivisme ditanamkan antara lain melalui pembuatan tata tertib. Kolektivisme ini dipermudah pembentukannya dengan kesamaan dn keterbatasan fasilitas kehidupan.
5. Menghormati orang tua dan guru. Tujuan ini dicapai antara lain melalui penegakan berbagai pranata di pesantren, seperti cium tangan guru, dan tindak membantah guru. Demikian juga terhadap orang tua.
6. Cinta kepada ilmu. Menurut al-Qur’an ilmu datang dari Allah. Karena itu orang-orang pesantren cenderung memandang ilmu sebagai sesuatu yang suci dan tinggi.
7. Mandiri. Sejak awal santri telah dilatih untuk mandiri. Mereka dibiasakan memasak sendiri, membersihkan kamar dan lingkungannya sendiri dan lain sebagainya. Metode sorogan yang individual juga memberikan pendidikan kemandirian.
8. Kesederhanaan. Sikap sederhana dimaksud adalah sikap memandang sesuatu terutama materi secara wajar, proporsional, dan fungsional. Sebenarnya banyak santri yang berasal dari keluarga kaya, tetapi mereka dilatih hidup sederhana.
Namun, ketika penulis merasakan langsung dunia pendidikan pesantren, penulis menemukan sebuah realita yang kurang sesuai dengan tujuan pendidikan pesantren. Tidak sedikit dari santri yang tinggal di pesantren, hanya sekedar menumpang tidur, makan, dan mandi. Tanpa semangat dan motivasi untuk menjalankan kegiatan belajar dan mengaji, aktif dalam organisasi, dan berbagai kegiatan lainnya.
Kurangnya semangat dan motivasi mereka, mungkin disebabkan oleh adanya rasa keterpaksaan dalam menjalankan rutinitas sehari-hari. Apalagi bagi mereka yang tidak terbiasa melakukan banyak hal secara mandiri, semua ini terasa berat untuk dijalani.
Kurangnya semangat dan motivasi santri, bisa mengakibatkan kurang produktifnya santri dalam melakukan aktivitas sehari-hari, sehingga akan mempengaruhi keahlian yang dimilki ketika santri tersebut lulus dari pondok pesantren. Tentunya, sangat disayangkan jika waktu terbuang sia-sia (kurang produktif), hanya karena kurangnya semangat dan motivasi.
Untuk itu, penulis merasa perlu untuk mengangkat masalah ini. Semangat dan motivasi santri harus tetap berkobar, karena mengingat betapa berharganya waktu yang tidak kan pernah kembali dan ketika santri tersebut lulus dari pondok pesantren, dia mempunyai keahlian, cerdas, dan mempunyai keimanan yang kuat ketika terjun langsung di masyarakat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar