Jumat, 15 Januari 2010

BAB III TAHSIN DAN TAQBIH (POLEMIK TENTANG PENENTUAN BAIK {TAHSIN} DAN BURUK {QOBIH})

A. Pendahuluan
Pembahasa tahsin dan taqbih merupakan materi yang di bahas ulama kalam. Bahasannya kemudian doperoanjnang oleh ulama ushul dalam materi bahasan hakim, walaupun ada juga yang telah menjadikan keduanya materi ushul fiqh yang khusus : tentang hasan dan qobih. Pembasanannya menimbulkan polemik yang tajam dan menarik, sehingga judul diberi tambahan “polemic tentang baik (hasan) dan buruk (qobih)”.
Karena pada awalnya merupakan materi bahasan kalam, maka polemic tentang peentuan baik dan buruk secara tajam tidak memparadoxkan dua mazhab utama ushul fiqh : mutakallimin dan ahnaf, melainkan tetap menjadikan mazhab-mazhab kalam. Mazhab yang di benturkan pendapatnya dalam asy’Ariyyah, Mu’tazillah, dan Maturidiyah. Pendapat hanafiyyah seolah hanya segbagai suplemen yan memperkuat satu dari ketiga kubu tersebut. jika dikelompokkan , tetap saja tyang terlibat adalah mutakalimin (Asy’ Ariyyah, Mu’tazillah, dan Maturidiyah) dan ahnaf (hanafiyyah), walaupun hanafiyyah bukan sebagai kubu yang mandiri.
Bahasan yang berpolemik ini antara lain : 1) mengenai pendefinisian dan pembagian hasan dan qobih, 2) bagaimana peran akal dan wahyu dalam menentukan baik dan buruk ? , yang bercabang kepada baik dan buruk sebelum dan setelah datang nya syariat, dan 3) bagaimana implikasidari pemngetahuan manusia tentang baik dan buruk terhadap takllif dan konsekuensi akhirat (pahala dan siksa) ?
B. Definisi dan Pembagian baik (hasan) dan buruk (qobih)
1. Definisi
Para ulama berbeda pendapat dalam memaknai hasan (baik atau/kebaikan) dan qobih (buruk atau keburukan). Ada yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan baik adalah segala hal yang selaras dengan tujuan pelakunya. Sementara buruk adalah hal-hal yang bertentangan dengan tujuan pelakunya, dengan pertimbangan terpenuhinya kesenangan atau terhindarnya dari kesusahan. Al-Gozali menambahkan satu istilah, ‘abats , yaitu hal-hal yang tidak sejalan dan tidak pula bertentangan dengant tujuan pelakunya.
Dengan definisi seperti ini, perbuatan manusia akan dipersepsikan berbeda berbanding lurus dengan berbedanya pemiiran manusia. Terkadang , satu perbuatan mendatangkan kesenangan bagi seseorang, sedangkan bagi yang lainnya mendatangkan kesengasaraan. Bahkan , akan berbeda dengan perbedaan zaman dan budaya (ahwal) manusia. Sehingga, tidak mungkin ada baik dan buruk yang essensi (dzati)
Ulama lainya mendefinisikan baik dan buruk berdsarkan selaras tidaknya dengan tujuan masyarakat. Yang dimaksud masyarakat adalah mayoritas orang yang akan mendapatkan akibat dari suatu perbuatan. Perbuatan dipertimbangakan dngan saut pertimbanga, kepentingan bersama. Kebaialkan adalah segala sesuatu yang mendatangkan kesenangan atau terhindarnya bahaya bagi mayoritas masyarakat. Sebaliknya keburukan adalah segala hal yang mendaytangkan bahaya atau yang merusak kesenangan mayoritas masyarakat, baik terhadap jiwa ataupun harta mereka.
Berdasarkan definisi ini, hukum (baik dan buruk) daspat ditetapkan secara univerasal . jujur, syukur nikmat, memenuhi janji, dan segsala hal yang mendatangkan manfaat bagi mayoritas masyarakat dianggap sebagai baik. Sementara bohong, kufur, mengingkari janji dan semua yang mendatangkan bahaya bagi mayoritas masyarakat dianggap sebagai buruk.
Pendapat kedua ini dikritisi oleh pengikut Asy’ariyyah. Mereka tidak setuju jika masyarakat dijadikan acuan untuk baik dan buruk. Menurut mereka, setiap manusia bersepakat atas satu kebaikan , ada saja undur buruk yang dimiliki kebaikan tersebut. Misalnya jujur, perbuatan ini amemang baik tetapi jika mnegkibatkan bahaya besar bagi umat jadilah ia perbuatab buruk. Begitu pula setiap manusia bersepakat tentang keburukan, ada saja unsure baik di dalamnya. Dengan demikian, baik dan buruk yang sejati tidak akan ada. Karenanya mereka berpendapat hanya Sya’ari (Allah dalam kasus yang lain Rasul-Nya) yang dapat menentukan sesuatu itu baik atau pun buruk. Sebagaimana definisi yang dikeukakan Al Syahrastany menurutnya, baik adalah perbuatan yang pelakunya dipuji oleh syara sementara buruk adalah perbuatanyng pelekunya dicela oleh syara.
Al Aniby yang dikutif Wahbah Al Zuhaily, mamaparkan alasandari kaum Asy ‘Ariyyah. Menurut Al Aniby , jika baik dan buruk merupakan sifat esensi dari suatu perbuatan, tentunya perbuatan tersebut selamanaya bernilai baik atau selamanaya sbernilai buruk.karena setiap yang esensi tidak berubah. Padahal, bohong umpamanya , terkadang diangap baik jika dilakukan untuk menjaga diri dari tangan orange yanga dzalim. Begitu pula jujur, dalam kasus tersebut dianggap buruk.
Aalasan ini, menutrut Al Zuhaialy lemah, karena keburukan essensi tidak bis ahilang oleh kebaikan yang dikandungnya. Buruknya bohong misalnya tidak hilang karena akibat baiknya menjaga jiwa dari orang adzalim. Begitu pula kebaikan essensi tidak hilang kerena akibat buruk yang itimbulkannya, seperti Shalat dilakukan di tempat yang belum ada izin dari pemiliknya (magsubah). Al Zuhgaialy tampaknya ingin menegasakan bahwa kebaikan selalu bernilai baik dan keburukan slu bernilai buruk. Bagaimana oun keadaanya, jika itu kebaiakan atau keburukan essensi. Akibat dari kebaikan dan keburukan tersebut adalah masalah lain, biukan merupakan faktor yang menghilangkan atau menumbuhkan nilai baik dan buruk.
Ibnu al thoyib (abi alhusain Muhammad ibn ali ibn al thyoyyib yang seorang penganut mutazilah)dan abu alhusain al bisyri agaknya berusaha msndefinisikan baik dan buruk dengan keluar dari apkah itu dari allah atau bukan,sembari dengan mengaitkan kepada implikasi perbuatan.keduanya dengan redaksi yang sama,berpendat bahwa baik adalah seseuatu yang harus dikerjakan oleh seseorang yang mampu mengerjakanya dan telah memahaminya secara mendalam(baik hukum ataupun akibatnya).dan iya tidak akan mendapatkan siksa dengan perbuatannya itu.adapun yang dimaksud buruk adalah Sesutu yang tidak boleh dilaksanakan oleh seseorang yang mampu mengerjakanya dan memahamimnya secra mendalam dan ia akn mendapatkan siksa dengan perbuatanya itu.
Definisi ini terlihat seperti focus kepada komitmen manusia dengan apa yang sudah di pahaminya.Jika seseorang tlah memahaminya keharusan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu baik ketentuan hukum Nya bersumber dari wahyu ataupun akalnya,mau tidak mau ia harus mentaati komitmenya tersebut.Baik ataupun buruk bahka siksa,menurut definisi ini,ditentukan oleh ketaatan oleh komitmennya itu. Jika ia mentaatinya,dianggap baik dan tidak mendapat siksa,sementara jika ia tidak mentaatinya,dianggap buruk dan ia mendapat siksa.
2. Pembagian
Menurut al zuhaily,ulama hanafiyah membagi perbuatan baik kepada empat:
a. kebaikan esensi yang harus senantiasa ada:seperti iman.iman mesti ada dalam dada
mukallaf walaupun dalam keadaan terpaksa.
b. Kebaikan esensial (tetapi tidak harus senantiasa) ada; seperti shalat. Shalat terlarang untuk dilaksanakan pada waktu-waktu tertentu, bahkan haram bagi wanita yang sedang haid atau nifas.
c. Sesuatu yang persepsi baiknya dating dari Allah, seperti zakat dan puasa. Pada esensinya, zakat dianggap tidak baik oleh akal yang terbatas karena mengurangi/menghilangkan harta, begitu pula puasa karena menjauhi kesenangan dan kenikmatan (makan, minum, dan sex).
d. Sesuatu yang dianggap baik karena sebab lain yang tidak langsung dari Allah, seperti jihad (membunuh atau melukai manusia dalam perang fisik) dan hudud (menyiksa dan membunuh mu’min karena kesalahannya). Jihad dianggap baik karena untuk tujuan memerangi musuh dan mempertahankan diri. Hudud dianggap baik karena menghukum yang bersalah.
Sementara untuk keburukan, ulama hanafiah seperti yang diungkap Jalal al-Din Abd al-Rahman, membaginya juga kepada empat.
a. Keburukan esensi yang langgeng (dalam keadaan apapun tetap keburukan); seperti syirik dan zina
b. Keburukan esensi yang nilai keburukannya dapat hilang karena kondisi tertentu; misalnya memakan bangkai, yang tidak lagi dianggap buruk ketika keadaan bahaya (makhmasah)
c. Keburukan karena hal lain yang disebut buruk karena mengerjakannya; seperti puasa di hari raya, yang disebut buruk karena bertentangan dengan jamuan Allah pada hari raya. Mengerjakan puasa berarti mengerjakan hal yang bertentangan dengan yang diharuskan.
d. Keburukan karena hal lain, yang disebut buruk bukan karena mengerjakannya; seperti melakukan jual beli ketika adzan, (jumat). Setelah shalat jumat selesai, jual beli tidak lagi dianggap buruk.
Jika Hanafiah membagi baik dan buruk menurut esensi tidaknya kebaikan atau keburukan, Ibn Thayyib dan Qadli Abd al-Jabbar dari mu’tazilah membagi baik dan buruk berdasarkan kualitas baik buruknya serta implikasinya kepada pahala dan siksa. Ia membagi buruk kepada dua : besar dan kecil. Menurut keduanya keburukan yang kecil adalah keburukan yang jika dikerjakan dosa dan celanya lebih kecil daripada pahala dan pujian, sementara keburukan yang besar adalah keburukan yang jika dikerjakan pahalanya lebih kecil daripada dosanya. Keburukan besar dibagi dua berupa kufur dan bukan kufur.
Dengan pembagian ini, terlihat Ibn Thayyib dan Qadli Abd al-Jabbar agaknya berpandangan bahwa dalam keburukan mengandung unsure kebaikan yang mengakibatkan pahala. Hal ini dikuatkan pula oleh penjelasan Qadli al-Jabbar tentang hakikat keburukan; menurutnya keburukan adalah perbuatan yang jika dikerjakan oleh orang yang mampu melaksanakannya akan menyebabkan celaan atau siksa dari sebagian seginya. Menurutnya, batasan “Batasan seginya” memberikan pengecualian terhadap keburukan kecil yang pelakunya mendapatkan pahala, tetapi tidak sebesar siksa dosanya yang mendominasi segi-seginya.
Selain membagi keburukan berdasarkan kualitas dan implikasinya, Qadli Abd al-Jabbar juga membaginya berdasarkan keadaan darurat. Menurutnya keburukan dibagi dua :
a. Keburukan yang berubah keadaannya(menjadi bukan keburukan) karena keadaan terpaksa. Contoh keburukan jenis ini adalah mengucapkan kata-kata kufur yang dibolehkan ketika keadaan terpaksa, dengan syariat tidak disertai dengan keyakinan.
b. Keburukan yang tidak berubah keadaannya karena keadaan terpaksa, dengan kata lain, dalam keadaan bagaimanapun tetaplah keburukan. Contohnya membunuh sesame. Dalam keadaan terpaksa, seseorang tetap tidak dibenarkan membunuh; ia harus berpendirian bahwa siksa Allah karena membunuh lebih besar daripada siksa orang yang memaksa.
Untuk kebaikan, Ibn Thayyib dan Qadli abd al-jabbar juga membaginya kepada dua : pertama disebut mubah, yang ia definisikan kebaikan yang tidak memiliki sifat yang kuat untuk adanya pujian dan pahala. Kedua, adalah kebaikan yang memiliki sifat yang kuat yang berakibat kepada pujian /pahala, yang berwujud nadh dan wajib menurut Ibn Thayyib; nawafil dan wajibat menurut sang Qadli.

C. Peran Akal dan wahyu dalam Menentukan Baik (Hasan) dan Buruk (Qabih)

Menurut al-Zuhayly, Mu’tazilah cs (Karramiyah, Khawarij, Syi’ah Ja’fariyah, Barahimah, Tsanawiyah, dll) berpendapat bahwa mengetahui dan menentukan baik dan buruk merupakan kompensi akal (‘aqliyi), bukan kompetensi mutlak syari’at. Menurut mereka, akal mampu mengetahui baik dan buruk, baik tanpa analisa (dlarury), seperti menganggap baik terhadap jujur yang berakibat baik, dan bohon g yang berakibat bahaya; ataupun mengetahui keduanya melalui analisa (nadhar wa tafkir) terlebih dahulu, seperti anggapan baiknya jujur yang mendatangkan bahaya dan bohong yang mendatangkan manfaat untuk orang lain. Bagi mereka, kebaikan dan keburukan (kejahatan) bukanlah hasil samping irasional dan buta dari keimanan, melainkan setiap manusia memiliki kehendak bebas, dapat menguraikan gambaran rasional tentang kebaikan dan keburukan. Hukum Allah menurut mereka akan sejalan dengan baik dan buruk yang dipersepsikan akal ( تدر كه عقلهم على وفق ما). Kebaikan Allah serupa dengan kebaikan manusia. Akan tetapi sementara manusia bisa saja berbuat keburukan (kejahatan) mengingat keterbatasan pengetahuannya. Syari’at hanya berfungsi sebagai informator (mukhbir), bukannya penetap (mutsbit) hukum. Syari’at hanya menguatkan (mu’akkid) hukum yang diketahui akal tersebut.
Menurut Harun Nasution yang mengutip al-Syahrastani, kaum Mu’tazilah satu dalam berpendapat bahwa kewajiban mengetahui dan berterimakasih kepada tuhan dan kewajiban mengerjakan yang baik dan dan menjauhi yang buruk dapat diketahui oleh akal. Sudah barang tentu, bahwa sebelum mengetahui sesuatu hal adalah wajib, orang harus terlebih dahulu mengetahui hakikat hal itu sendiri. Tegasnya, sebelum mengetahui kewajiban berterimakasih pada Tuhan dan kewajiban berbuat baik dan menjauhi perbuatan jahat, orang harus mengetahui Tuhan dan mengetahui baik dan buruk. Sebelum mengetahui hal-hal itu, orang tentu tidak dapat menentukan sikap terhadapnya.
Tetapi, menurut Jalal al-Din Abd al-Rahman, Mu’tazilah juga mengakui ada kebaikan dan keburukan yang di luar jangkauan akal ( خفى على العقل), yang tidak dapat diketahui oleh akal baik secara dlarury maupun melalui analisa; melainkan hanya dapat diketahui dari syari’at, seperti jumlah rakaat dalam shalat. Setelah datangnya syari’at, terisilah kekosongan dan ktidakmampuan akal tersebut.
Alasan golongan (akal) ini, seperti diungkap al-syawkany, bahwa jika baik dan buruk tidak dapat diketahui akal sebelum datangnya syari’at, tentunya mustahil pula akal akan memahami baik dan buruk setelah datangnya syari’at , karena akal yang tidak mempunyai kemampuan menentukan baik dan buruk, tidak mampu mencerna dan menggambarkan baik dan buruk dari syari’at tersebut. Hal seperti ini, menurut mereka mustahil. Sehingga, mereka mengharuskan baik dan buruk diketahui (akal) manusia sebelum datangnya syari’at.
Argumentasi ini dijawab oleh al-Syawkany sendiri. Menurutnya, mengetahui syari’at bukanlah penggambaran rasional (tashawwur) tentang baik dan buruk. Walaupun sebelum datangnya syari’at kita menggambarkan (mempersepsikan) akibat suatu perbuatan yang akan mendatangkan siksa, pahala, pujian, dan cercaan; kita juga memprepsikan tentang tidak adanya akibat tersebut. Dengan penggambaran rasional seperti itu, tidakla serta merta kita mengetahui syari’at , karena mengetahui syari’at hanya dapat dicapai dengan pembenaran atau pengakuan (tashdiq) terhadap syari’at tersebut.
Menurut Asy’ariyah, baik dan buruk merupakan ketentuan syar’iy. Apa yang diperintahkan Allah seperti iman, shalat, haji adalah baik (hasan); sementara kufur, dan hal-hal lain yang dilarang Allah adalah buruk (qabih). Karenanya, seseorang tidak bia mengetahui dan menentukan sesuatu hal itu harus dikerjakan atau ditinggalkannya, sebelum dakwah sampai kepadanya, walaupun akalnya berpersepsi tentang baik atau buruknya hal tersebut. Asumsi madzhab ini seperti pendapat sebagian ulama Akhlak, bahwa penentu baik (khair) dan buruk (syar) adalah qanun.
Menurut al-Amidy (pendukung Asy’ariyah), jika semua kebaikan dan keburukan ditentukan oleh akal, tentunya pelaku keburukan atau yang tidak mengerjakan kebaikan akan mendapat siksa, padahal hal ini sangat bertentangan dengan dalil yang jelas dari Al-Quran surat Al-Isra (17) ayat 15 sebagai berikut :
وما كا نا معذ بين حتى نبعث ر سو لا
Kami bukanlah pengadzab, sehingga kami mengutus seorang Rasul
Ayat yag lainnya, Surat Thaha (20) ayat 134 :
Sekiranya kami binasakan mereka dengan adzab sebelum (Al-Quran diturunkan), tentulah mereka berkata, “Ya Tuhan kami, mengapa Engkau tidak mengutus Rasul kepada kami, lalu kami mengikuti ayat-ayatMu sebelum kami menjadi hina dan rendah?”
Juga surat An-Nisa (4) ayat 165 :
(Mereka kami utus) sebagai Rasul-rasul yang member kabar gembira dan memberikan peringatan, agar tidak ada bagi manusia alas an setelah (diutusnya) Rasul-rasul itu.
Kaum Mu’tazilah menunjukkan bantahan terhadap hujjah al-Amidy tersebut. Menurut mereka, penyiksaan yang dimaksud dalam ayat-ayat tersebut bermakna penyiksaan didunia-bukan kelak di akhirat. Dalil yang mereka pakai adalah ayat yang pertama, yakni surat al-Isra (17) ayat 16 :
Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, Kami perintahkan orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (dengan mentaati Allah), tetapi mereka durhaka di negeri itu, maka berlakulah terhadapnya ketentuan Kami, sehingga Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya.
Menurut mereka, alur (siyaq) ayat tersebut selaras dengan ayat sesudahnya. Ini menunjukkan kekhususan penyiksaan yang dimaksud. Mereka menambahkan, rasul yang dimaksud dalam ayat tersebut sebenarnya adalah akal. Akal merupakan “rasul” yang berada dalam diri manusia (rasul bathin) yang memberikan petunjuk dan peringatan seperti layaknya Rasul (Nabi), karena dalam tradisi Al-Quran, yang dimaksud Rasul adalah “man” (orang atau yang diorangkan) yang menyampaikan wahyu kepada manusia.
Walaupun demikian, Asy’ariyah dan mu’tazilah bersepakat mengenai kemampuan akal untuk mengetahui baik dan buruk dalam dua hal. Pertama, akal menetapkan sesuatu yang selarasv dengan tabiat manusia sebagai baik, seperti rasa manis, suara merdu, dan menyelamatkan orang yang tenggelam; dan menetapkan hal-hal yang tidak selaras dengan tabiat buruk, seperti rasa pahit, suara yang memekakan telinga, dan mengambil harta dengan cara tidak benar. Kedua, akal menetapkan hal-hal yang mempunyai sifat utama/lebih sebagai baik, seperti berilmu dan jujur; sementara hal-hal yang bersifat kurang sebagai buruk, seperti bodoh dan bohong.
Hampir sama dengan pendapat mu’tazilah, maturidiyah (sebagian dari mereka bermadzhab Hanafiyah) juga berpendapt bahwa baik dan buruk merupakan kompetensi akal, bukan hanya kompetensi mutlak syari’at, melainkan dapat diketahui oleh akal. Dalam perbuatan manusia terdapat karakter yang mendatangkan pengaruh / akibat, yang dengannya baik dan buruk perbuatan tersebut dapat ditentukan. Berdasarkan karakter tersebut, akal dapat menentukan suatu perbuatan itu baik atau buruk. Apa yang dipersepsikan akal sehat sebagai baik adalah baik, begitu pula buruk adalah apa yang dipersepsikan akal sebagai buruk. Tetapi menurut mereka, hokum-hukum Allah tidak harus sejalan dengan pemahaman akal tentang baik dan buruk, karena akal terkadang salah. Sehingga tidak ada jalan lain untuk mengetahui hokum Allah, kecuali melalui Rasulullah dan KitabNya.
Mereka berargumentasi, jika baik dan buruk hanya ditentukan syari’at, tentunya sebelum datangnya datangnya syari’at, tidak ada perbedaan (nilai)antara shalat dan zina. Hal ini menurut mereka, tidak bisa diterima. Alasan lainnya, jika hanya syari’at yang menjadi penentu baik dan buruk, tentunya diutusnya Rasul dan datangnya agama menjadi “pengacau dan perusak” alam, serta penyebab adanya kesusahan. Maksudnya, sebelum datangnya syari’at, manusia merdeka dan bebas untuk melakukan apa yang dikehendakinya, tanpa takut akan siksa. Kemudian, setelah Rasul dating, terbagilah perbuatan menjadi halal dan haram, yang akhirnya membagi manusia kepada dua : Mu’min dan kafir, suatu ahli surge, yang lainnya ahli neraka. Itu berarti datangnya Rasul merupakan pengacau dan pembuat kesusahan. Hal ini juga tidak sejalan dengan firman Allah, surat Al-Isra (17) ayat 15seperti diatas.

D. Taklif dan Pengetahuan tentang Baik (Hasan) dan Buruk (Qabih)
Dalam pasal ini akan dibahas apakah seseorang yang telah mengetahui hasan dan qabih di-taklif untuk melaksanakan atau meninggalkannya? Juga apakah berimplikasi terhadap pahala dan siksa karena pengetahuannya tersebut?
Menurut Abd Wahab Khalaf, Asy’ariyah berpendapat bahwa manusia hanya ditaklif oleh Allah untuk mengerjakan atau meninggalkan sesuatu, jika telah sampai kepadanya dakwah Rasul dan Syariat Allah. Seseorang hanya diberi pahala dari pelaksanaan suatu perbuatan atau disiksa karena meninggalkan suatu perbuatan,jika ia telah mengetahui dari Rasul apa yang wajib dikerjakan dan yang wajib ditinggalkan. Perbuatan manusia, sebelum datangnya Rasul, sama sekali tidak terkait oleh hokum; sehingga kafir tidaklah haram, begitu pula iman, tidak wajib.
Bagi orang yang tinggal di daerah yang terisolir yang tidak sampai ke daerah tersebut dakwah Rasul, dan orang yang hidup pada masa fatrah (jeda anatara kematian Rasul dan diutusnya Rasul pengganti), mereka tidak ditaklif dan tidak berhak atas pahala dan siksa. Dalil yang dijadikan dasar madzhab ini adalah masih firman Allah, Surat Al-Isra (17) ayat 15 seperti diungkap sebelumnya.
Berbeda dengan asy’ariyah, menurut mu’tazilah seperti yang diungkap khalaf, dalam keadaan bagaimanapun manusia ditaklif oleh Alla, baik sudah sampai dakwah Rasulullah dan syari’at Allah kepadanya, atau belum. Bagi yang sudah sampai dakwah, mereka ditaklif oleh ketentuan syari’at ; sedangkan bagi manusia yang dakwah tidak sampai kepadanya, mereka ditaklif oleh Allah untuk mengerjakan sesuatu yang oleh akal mereka dipersepsikan baik. Jika mereka mengerjakannya, mereka mendapatkan pahala. Mereka juga ditaklif oleh Allah untuk meninggalkan sesuatu yang menurut akalnya buruk, dan mendapatkan siksa jika mereka mengerjakannya. Walaupun demikian menurut mereka mungkin saja Allah memberi pengampunan terhadap kesalahan tersebut.
Pendahulu Maturidiyah berpendapat bahwa akal-berlaku pula untuk anak kecil yang berakal-dengan sendirinya, terkadang mampu mengetahui hokum Allah, seperti iman, haramnya kufur, dan hal-hal yang tidak pantas dilakukan terhadap Allah. Orang yang tidak beriman dimungkinkan mendapatkan siksa dari Allah- jika belum dimaafkanNya-baik dakwah sudah sampai kepadanya ataupun belum. Mengenai ini, Abu Hanifah berkata “La udzr li ahad fi al-jahl bi khaliqihi lamma yara min al-dalail (tidaklah mengapa bagi seseorang tidak memahami Allah, selama ia belum mengetahui dalil-dalil).” Menurut pengarang Muslim al-Tsubut, yang dimaksud dalail mungkin berarti hasil analisa akal yang matang (ba’da madla muddat al-taammul). Pendapat mereka ini sejalan dengan mu’tazilah, tetapi mereka tidak memberikan kepastian terhadap adanya siksa. Namun generasi akhir maturidiyah mempersyaratkan sampainya dakwah untuk taklifnya seseorang. Menurut mereka, seseorang tidak dimungkinkan (la tu’tabar) mendapatkan pertanggung jawab dari apa yang ia kerjakan atau ia tinggalkan, sebelum datangnya syari’at. Pendapat generasi akhir ini sejalan dengan Asy’ariyah.
E. Penutup
Polemik agaknya mirip dengan ta’arudl dalam term Ushul ataupun hadits. Karenanya, disini polemic diperlakukan sebagai ta’-pendapat arudl al-hujjah, yang penyelesaiannya menggunakan empat tahapan : 1)jama’;2)tarjih;3)nasikh-mansukh;4)tawaquf. Namun, langkah ketiga tidak mungkin dilakukan karena “al-ijtihad laa yunqadl bi al-ijtihad.”
Jama’ berarti mencari “benang merah” dari polemic yang terjadi. Benang-benang merah tersebut antara lain :
1. Persepsi baik dan buruk syari’at (Allah dan Rasulnya) diterima oleh semua kubu yang berpolemik
2. Semua kubu berpendapat bahwa akal sehat dapat mengetahui baik dan buruk, walaupun mereka berbeda mengenai pengetahuan tersebut merupakan hokum atau hanya sebatas penggambaran rasional (tashawwur);
3. Wahyu atau Syari’at, bagi semua kubu merupakan hal utama yang mentaklif manusia, yang berimplikasi kepada pahala atau siksa di akhirat.
Jika ditarjih, dari semua kubu yang berpolemik, agaknya pendapat pendahulu maturidiyah-lah yang lebih bijak, karena pendapatnya terkesan menyuarakan pesan wahyu Assy’ariyah dan pesan akal mu’tazilah.
Mengenai pendapat khas dari masing-masing kubu, biarlah tetap mengalir dan berkembang. Tawaquf disini, diartikan dengan menghentikan “adu domba” dan penilaian, bukan membekukan pendapat mereka.

Rabu, 13 Januari 2010

Perkembangan Ushul Fiqh pada Masa Nabi

Di zaman Rasulullah SAW sumber hukum Islam hanya dua, yaitu Al-Quran dan Assunnah. Apabila suatu kasus terjadi, Nabi SAW menunggu turunnya wahyu yang menjelaskan hukum kasus tersebut. Apabila wahyu tidak turun, maka Rauslullah SAW menetapkan hukum kasus tersebut melalui sabdanya, yang kemudian dikenal dengan hadits atau sunnah.
Hal ini antara lain dapat diketahui dari sabda Rasulullah SAW sebagai berikut :
“Sesungguhnya saya memberikan keputusan kepada kamu melalui pendapatku dalam hal-hal yang tidak diturunkan wahyu kepadaku.” (HR. Abu Daud dari Ummu Salamah).
Hasil ijtihad Rasulullah ini secara otomatis menjadi sunnah bagi Umat Islam. Hadits tentang pengutusan Mu’az Ibn Jabal ke Yaman sebagai qadi, menunjukkan perijinan yang luas untuk melakukan ijtihad hukum pada masa Nabi. Dalam pengutusan ini Nabi bersabda :
كيف تقض ادا عر ض لك قضا ء ؟ قال ا قض بكتا ب الله قال فا ن لم تجد ف كتا ب الله؟ قال فبسنة ر سو ل الله قال فان لم تجد في سنة ر سو ل الله قال اجتهد راى ولا لو فضرب رسو ل الله على صدره وقال ا ا لحمد ا ا لذي و فق رسو ل اللهكما ير ض ر سسو ل الله

“Bagaimana engkau (mu’az) mengambil suatu keputusan hukum terhadap permasalahan hukum yang diajukan kepadamu? Jawab mu’az saya akan mengambil suatu keputusan hukum berdasarkan kitab Allah (Al-Quran). Kalau kamu tidak menemukan dalam kitab Allah? Jawab Mu’az, saya akan mengambil keputusan berdasarkan keputusan berdasarkan sunnah Raulullah. Tanya Nabi, jika engkau tidak ketemukan dalam sunnah? Jawab Mu’az, saya akan berijtihad, dan saya tidak akan menyimpang. Lalu Rasulullah menepuk dada Mu’az seraya mengatakan segala puji bagi Allah yang telah memberi taufik utusan Rasulnya pada sesuatu yang diridhai oleh Allah dan rasulnya.”
Hadits ini secara tersurat tidak menunjukkan adanya upaya Nabi untuk mengembangkan Ilmu Ushul Fiqh, tapi secara tersirat jelas nabi telah memberikan keluasan dalam mengembangkan akal untuk menetapkan hukum yang belum tersurat dalam Al-Quran dan Sunnah.
Artinya dengan keluwesannya Nabi dalam melakukan pemecahan masalah-masalah ijtihadiyah telah memberikan legalitas yang kuat terhadap para sahabat. Dalam sebuah haditsnya yang mengandung kebolehan bagi manusia untuk mencari solusi terhadap urusan-urusan keduniaan Rasulullah bersabda :
ا نتم ا علم با مو ر د نيا كم
“Kamu lebih mengetahui tentang urusan duniamu.”
Dorongan untuk melakukan ijtihad itu tersirat juga dalam hadits Nabi yang menjelaskan tentang pahala yang diperoleh seseorang yang melakukan ijtihad sebagai upaya yang sungguh-sungguh dalam mencurahkan pemikiran baik hasil usahanya benar atau salah.
Selain dalam bentuk anjuran dan pembolehan ijtihad oleh nabi di atas, Nabi sendiri pada dasarnya telah memberikan isyarat terhadap kebolehan melakukan ijtihad setidak-tidaknya dalam bentuk qiyas sebagaimana dapat kita temukan dalam hadits-haditnya sebagai berikut :
جات ا مر ا ة خثيمية فقا لت يا ر سو ل ا لله ان ابى اد ر كته ف رضه احغ و لم يحج و هو لا يتمسك على الر حا لة لمر ضه افا حج عنه ؟ فقا ل ر سو ل الله عليه و سلم ار ايت لو كا ن على ا بيك دين اقتضيته عنه قا لت نعم قال فدين ا لله ا حق ان يقض
“Seorang wanita namanya Khusaimiah datang kepada nabi dan bertanya, Ya Rasulullah ayah saya seharusnya telah menunaikan haji, dia tidak kuat duduk dalam kendaraan karena sakit, Apakah saya harus melakukan haji untuknya? Jawab Rasulullah dengan bertanya bagaimana pendapatmu bila Ayahmu mempunyai utang? Apakah engkau harus membayar? Perempuan itu menjawab , Ya, Nabi berkata utang kepada Allah lebih utama untuk dibayar.
Hadits ini menggambarkan upaya qiyas yang dilakukan oleh Nabi, yaitu ketika seorang sahabat datang kepada Nabi yang menanyakan tentang keharusan penunaian kewajiban ibadah haji bapaknya yang mengidap sakit, Nabi menegaskan keharusan penunaiannya dengan melakukan pengqiyasan terhadap pembayaran utang antara sesama manusia.
Contoh lain terdapat dalam hadits sebagai berikut :
حد ثنا عبد ا الله ا بن اسما ء الضبعى حدثنا مهدى ابن ميمون حدثنا و اصل مو لى ابن عيله عن يحيىبن عقل بن يحيى ابن عمر ابن الا سو د القيل عن ابي دار و في بضع احد كم صدقة قالو ا يا رسول الله ايا تي احد نا شهوا ته و يكون له فيها اجر قال ارايتم لو وضعهافي حرام اكان عليه فيها وزر فكذا لك ادا و ضعها فى الحلال كان له اجرا

Hadits ini menggambarkan tentang penggunaan qiyas oleh nabi ketika menjawab pahala “menggauli istri”, Nabi menimpali pertanyaan itu dengan berkata berdosakah kalau seseorang bergaul secara zina? Demikian pula sebaliknya, kata Nabi.
Ada satu hal yang perlu dicatat, kehadiran Nabi sebagai pemegang otoritas tunggal dalam permasalahan-permasalahan hukum membuat Nabi sangat berhati-hati disatu pihak, dan terbuka dipihak lain. Sikap hati-hati yang ditempuh oleh Nabi dalam rangka penerapan hukum Islam bidang ibadah. Penjelasan Nabi yang berkaitan dengan ini cukup rinci. Wahyu memegang peranan sangat penting. Sikap terbuka yang ditempuh oleh Nabi dalam upaya pengembangan hukum Islam bidang muamalah.
Berbeda dengan ibadah, dalam muamalah penjelasan Nabi lebih banyak bersifat garis besar, sedangkan perincian dan penjelasan pelaksanaannya diserahkan kepada manusia. Manusia dengan akal yang dianugerahkan kepadanya diberi peranan lebih banyak. Artinya, ini pulalah salah satu faktor yang ikut mendukung terhadap pertumbuhan ilmu ushul fiqh selanjutnya.
Dalam beberapa kasus, Rasulullah SAW juga menggunakan qiyas ketika menjawab pertanyaan para sahabat. Misalnya ketika menjawab pertanyaan Umar Ibn Khatab tentang batal atau tidaknya puasa seseorang yang mencium istrinya. Rasulullah SAW bersabda :
“Apabila kamu berkumur-kumur dalam keadaan puasa, apakah puasamu batal?” Umar menjawab:”Tidak apa-apa” (tidak batal). Rasulullah kemudian bersabda “maka teruskan puasamu.”(HR al-Bukhari, muslim, dan Abu Dawud).
Hadits ini mengidentifikasikan kepada kita bahwa Rasulullah SAW jelas telah menggunakan qiyas dalam menetapkan hukumnya, yaitu dengan mengqiyaskan tidak batalnya seseorang yang sedang berpuasa karena mencium istrinya sebagaimana tidak batalnya puasa karena berkumur-kumur.